April 03, 2008

Dream of Life


These below famous quotes are to inspiring your day and life. Belive in your dream will make your dream come true.
So, let's dreaming and do something worth to reach your dream...




"The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams." --- Eleanor Roosevelt


"The best way to make your dreams come true is to wake up."
---
Paul Valery


"Dreams as if you'll live forever...live as if you'll die today."
---
James Dean


"Whatever you can do or dream you can, begin it. Boldness has genius, power, and magic in it. Begin it now."
---
Goethe


"Some men see things as they are and ask why. Others dream things that never were and ask why not."
--- George Bernard Shaw


"To accomplish great things, we must not only act, but also dream; not only plan, but also belive."
--- Anatole France


"You may say I'm a dreamer, but I'm not the only one, I hope someday you will join us, and the world will live as one."
--- Jhon Lennon


"Twenty years from now you will be more disappointed by the things that you didn't do than by the ones you did do. So throw off the bowlines. Sail away from the safe harbor. Catch the trade winds in your sails. Explore...Dream...Discover."
--- Mark Twain


compiled by [am]

Read More......

In you Feel Unappreciated in Your Current Job


"I know the price of success: dedication, hard work, and an unremitting devotion to the things you want to see happen." --- Frank Lloyd Wright


You work hard every day, but you don't feel your boss or your workplace recognize your efforts. You can't remember the last time anyone thanked you for your contributions.

So, please do this step below to raise your work spirit:

* Tell your boss you would like his/her input about how he/she views your work. Tell the boss you'd like to sit down with him/her regularly to obtain feedback, both good and bad, so you can improve.


* Offer to chair an employee recognition team that can develop a process for recognizing the hard work and efforts of all your coworkers.

After all, if you're feeling unappreciated, you can bet others are, too.
Take this experience for your personal improvement. So if you are as a boss, please do appreciation to your staff as well :)

Life is not all about you, but how to live in balance with others.



[am]

Source: humanresources

Read More......

Lawan = Kawan


"Keep your friends close, but keep your enemies closer." ---- Sicilian Proverb

Dalam hubungan antar manusia yang terjalin, tentunya tidak semua berjalan dengan mulus. Baik itu hubungan antara kedua orang kekasih, kakak dengan adik, guru dengan murid, bahkan orang tua dengan anak. Tidak hanya itu saja, hubungan atasan dengan bawahan, dan hubungan antara sesama rekan kerja, yang biasanya juga sering mengalami berbagai hambatan.

Sikap kaku dan skeptis ketika menjalin hubungan dengan orang lain mungkin dapat menjadi titik mula datangnya kesulitan itu sendiri. Lalu, hal tersebut menjadi pemicu diri ketika

berusaha membina suatu hubungan. Baik dengan rekan kerja, maupun dengan atasan.

Hal ini dialami juga oleh teman saya sendiri, Rico. Ia bekerja di salah satu bank swasta besar di Jakarta. Ia sudah menempati posisi yang dapat dibilang lumayan enak, yaitu sebagai asisten manajer accounting. Rico memiliki pengalaman bekerja selama kurang lebih 4 tahun, kemudian, ia keluar untuk melanjutkan pendidikan S2 nya. Ia adalah orang yang cerdas. Kepalanya selalu dipenuhi dengan berbagai ide-ide segar yang dapat dimaksikmalkan. Selain itu, ia tipe pekerja keras, motivasinya adalah melakukan yang terbaik, hingga dapat menjadi yang terbaik.

Walau demikian, jalan memang selalu tidak mulus, ada saja hambatan dan kesulitan yang ia alami. Salah satunya adalah kesulitan bekerja sama dengan atasannya sendiri. Manajernya selalu merasa paling pintar dan tidak pernah mau mendengarkan ide-ide dari bawahan ataupun rekan yang lainnya.

Pernah, dalam suatu meeting, Rico mencoba mengemukakan pendapatnya tentang strategi promosi produk baru yang akan diluncurkan perusahaannya dalam waktu dekat. “Gimana sih kamu Rico, kalau gak becus itu, ya sebaiknya diam saja! Tidak perlu ikut-ikutan ber-strategi. Saya kan sudah mencanangkan promosi yang paling tepat untuk produk baru kita itu!, memangnya kamu mau menentang saya?!!” hardik atasanya. Rico-pun segera menjawab: “Bukan begitu Pak, saya hanya mengemukakan bila gagasan Bapak digabungkan dengan gagasan saya, mungkin akan tercipta strategi baru, yang sebelumnya saya analisis, belum pernah dilakukan oleh competitor kita. Sehingga, bisa saja menjadikan kita sebagai pioneer di produk baru ini.” Jelasnya dengan suara pelan. “Dan, saya tentunya akan meminta bimbingan serta keputusan Bapak, karena Bapak adalah atasan saya.” Sambungnya.

Apa mau dikata, ternyata tetap saja, atasannya itu tidak menyenangi Rico. Karena, makin hari Rico makin cemerlang dengan ide-ide luar biasanya itu. mungkin saja, dalam waktu singkat, seiring pemekaran departemen, karir Rico akan menanjak menyamai manajernya tersebut.

Akibatnya, lingkungan kerja menjadi tidak kondusif dan nyaman lagi untuk bekerja. Saling sikut dan bersaing tidak sehat sudah menjadi makanan sehari-hari di tempat kerja Rico. “Bayangkan juga, teman kerja saya yang sudah akrab bak sahabat selama 5 tahun bekerja, ternyata tega sekali menjelekkan saya didepan direktur saya sendiri. Semua dilakukan hanya untuk mendapat “muka” di depan atasannya itu,” serunya.

Jika sudah demikian, kawan adalah lawan Anda dalam persaingan di dunia kerja, lalu apa solusinya? Jangan berkecil hati, jika Anda dalam posisi yang mungkin saja sama dengan Rico. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan acuan untuk mengatasinya.

· Ciptakan hubungan “pertemanan” yang sama dengan setiap rekan kerja Anda.

· Jangan terburu-buru untuk merasa dekat, apalagi memilih sahabat di tempat kerja. Analisis terlebih dahulu kecenderungan sifat dan sikap asli dari orang tersebut.

· Open minded. Bersikaplah terbuka pada setiap masukan, dan peranan rekan kerja Anda dalam segala bentuk pekerjaan, jika memang diharuskan bekerja dalam sebuah “teamwork”.

Dari survey kecil yang saya lakukan, ada beberapa orang, yang mengalami permasalahan dengan rekan kerjanya sendiri di perusahaan mereka kerja saat ini. Rika misalnya, 29 tahun. Ia bekerja disalah satu perusahaan telekomunikasi di Jakarta sebagai marketing executive. Dalam departemennya, terdapat kira-kira 15 orang dengan level posisi yang sama dengannya.

Mulanya, Rika menjalin hubungan baik dengan semua orang dalam perusahannya. Hingga suatu saat, ada salah seorang rekan kerjanya, yang lambat laun dekat berteman dengan dirinya. Sebut saja Santi. Santi duduk diposisi yang sama dengan Rika. Tetapi, Santi belum memiliki pengalaman kerja selama Rika, kira-kira baru satu tahunan lamanya.

Rika dan Santi, akhirnya menjadi akrab sekali, hingga suatu waktu, Rika menyadari, bahwa ternyata Santi memanfaatkannya. Seringkali Santi mengajak Rika berdiskusi mengenai pekerjaan, solusi dan pemecahan masalah termasuk ketika Santi menangani sebuah proyek.

Tak disangka, Santi, seringkali menggunakan pemikiran-pemikiran Rika. Yang membuat Rika sakit hati, semua hasil pemikirannya itu, disebut Santi sebagai hasil pemikirannya sendiri. Sehingga keberhasilannya menangani suatu proyek menghantarkanya meraih promosi dari atasannya. Ia kini menjadi asisten manajer.

“Salah betul aku ini, terlena merasa bersahabat hanya dengan satu orang saja, yang ternyata orang itu justru menusukku dari belakang.” Ungkapnya kepada saya, waktu menguraikan pengalaman pribadinya.

Sungguh malang nasib Rika. Berbeda dengan Rani. Seorang eksekutif berusia 25 tahun, diperusahaan kosmetik. Rani, pernah memiliki kasus yang sama dengan Rika. Ia dimanfaatkan oleh rekan sekerjanya sendiri. Namun, ia segera menyadarinya, sebelum terlarut akrab dengan rekan kerjanya itu. iapun mati-matian mulai menunjukkan keunggulan-keunggulan yang dimillikinya, tanpa harus membantu seratus persen rekan kerjanya.

Rani tidak pelit informasi dan ilmu, tapi, ia membagi pengetahuannya dengan rekan-rekannya hanya bagian terkecilnya saja. Sedangkan, bagian paling besar hingga penuntasannya, hanya ia yang mengetahui pasti.

Dengan strategi demikian, Rani, tidak kehilangan teman rekan sekerjanya. Ia tetap menjalin pertemanan dengan mereka semua. Tapi, ia juga dapat mempertahankan prestasi kerjanya pada atasannya.

Sebuah “team” yang efektif layaknya memiliki:

ü “Goal” (tujuan) yang sama, dan tidak ada diantaranya yang memiliki rencana sendiri.

ü Produktifitas menjadi lebih tinggi dan menyesuaikan dengan tenggat yang diberikan.

ü Adanya pembagian akan peranan dan tanggung jawab yang jelas kepada semua orang.

ü Komunikasi menjadi kunci utama, dimana prosesnya harus berjalan dua arah, mendengarkan dan didengarkan.

ü Hargai setiap individu sebagai pribadi yang baik di dalam tim. Setiap angggota berkesempatan untuk berkembang.

ü Binalah rasa saling menghormati antar setiap orang. Sehingga, bekerja bersama akan terasa lebih menyenangkan.

ü Jadilah kelompok yang tidak menolak masukan, pengaruh, dan kritik yang dilontarkan dari luar.

Bagaimana menurut Anda?

Dalam lingkungan kehidupan di tempat kerja, memang hubungan antar rekan kerja itu sangat penting dijaga keharmonisannya. Sebab, hal itu menyangkut kinerja tim, yang berujung pada kinerja diri kita sendiri. Semakin kita tidak dapat bekerjasama dengan anggota tim yang lain, menyebabkan mundurnya motivasi kerja yang ada.

Selalunya, kita dihadapkan pada diversitas baik dari segi umur, budaya dan latar belakang setiap individu yang beragam dalam suatu perusahaan. Dari beragamnya perbedaan tersebut, terkadang menyebabkan munculnya kotak-kotak kecil pergaulan dan hubungan antar rekan kerja.

Kesamaan hobi, kesenangan yang sama atau bahkan saya menjumpai ada lingkungan kerja teman saya, yang mengelompokkan diri, karena mereka merasa berada dalam level dan kelas “gaul” yang sama. Sehingga, menghasilkan kelompok ekslusif, layaknya masa-masa sekolah dulu.

Idealnya, kita harus menjalin dengan relasi dengan siapa saja. Baik yang kita sukai karena memiliki nilai-nilai kesamaan tertentu. Ataupun yang tidak cocok dengan kita, baik dari segi sifat personal maupun dari segi kegemaran. Karena, dunia kerja bukanlah dunia main masa kanak-kanak. Semua harus dibangun secara profesional. Hasil akhir, merupakan orientasi yang perlu dikedepankan. Yaitu kesuksesan perusahaan tempat kita bekerja. Disitulah nilai prestasi kita sebagai karyawan terukur.

Masa depan tidak dapat diduga, oleh karena itu, bisa saja, yang Anda anggap tidak “selevel” dengan kelas Anda dalam pergaulan di lingkungan kantor tempat Anda bekerja, ataupun rekan, dan atasan yang senang menjatuhkan Anda, justru suatu saat menjadi kawan baik Anda sendiri.

Seperti yang Rico alami. Akhirnya, setelah ia keluar kerja dari bank swasta tersebut untuk menjalankan usahanya sendiri, ia justru berteman akrab dengan mantan manajernya sewaktu itu. Dan, mereka menjalin hubungan bisnis yang baik hingga sekarang. Demikian juga dengan Rani, ia tetap menjalin pertemanan secara profesional dengan rekan-rekan kerjanya.

Tunggu apa lagi, carilah lawan Anda dan jadikan mereka sahabat dalam pekerjaan ataupun bisnis Anda. Atau kebalikannya. Hargailah setiap rekan kerja Anda, termasuk bawahan Anda sendiri saat ini.

Tips membuat Lawan Anda menjadi Kawan Anda:

1. Jalinlah relasi dengan semua orang.

2. Bersikap bersahabat, yang tidak berlebihan terhadap semua rekan kerja Anda di kantor.

3. Latihlah diri Anda agar tidak mudah tersinggung, sehingga Anda tidak memiliki perasaan dendam terhadap rekan kerja ataupun atasan yang menyakiti Anda.

4. Hargailah setiap rekan kerja Anda, karena masing-masing memiliki kelemahan juga keunggulannya sendiri-sendiri.

5. Jangan pernah menganggap remeh rekan kerja, bawahan, ataupun atasan Anda sendiri. Berusahalah mencari kesamaan walau kecil diantara jurang perbedaan yang besar.

6. Senantiasa berorientasi pada hasil akhir “goal” perusahaan, yakni kesuksesan. Dimana, prestasi yang diukur adalah prestasi kerja tim yang solid.

7. Bersemangatlah!

*Apa yang kita tanam, akan kita tuai. Maka janganlah berhenti untuk saling menghargai.*

[am]

Artikel saya ini dimuat di www.pembelajar.com per tanggal 3 Feb 08

Read More......

You = A Superstar


"I don’t kiss ass, I kick ass and let the world know about what I’m capable of doing." ---- Jennie S. Bev

Apa yang ada dalam benak Anda, ketika membaca sepenggal kalimat diatas? Mungkin bagi banyak dari Anda, tidak memiliki arti apapun. "Ah, itu kan hanya sepenggal kalimat, yang tentu saja tidak begitu jelas konteksnya..." mungkin ada diantara Anda yang berfikir demikian.
Saya pribadi mendapatkan penggalan kalimat diatas secara tidak sengaja. Saat membaca artikel terbaru dari Jennie S. Bev, salah seorang penulis, motivator, guru..yang sangat saya kagumi karya-karyanya, muncullah kalimat tersebut diantara ratusan kalimat yang ia tuliskan.

Maknanya begitu luar biasa. Ketika

saya membacanya, langsung terhenyak dan terdiam sementara sampai kata terakhir. Memang betul, banyak orang terlebih saat ini begitu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Dan, salah satunya yang paling sering dilakukan baik sadar ataupun tidak sadar adalah dengan "Kiss Ass".atau “menjilat”.

Lucunya, pada hari ini saya juga mendapatkan telepon dari salah seorang sahabat saya, yang sudah cukup lama tidak bertemu. Ia bekerja di sebuah perusahaan properti terkemuka di Indonesia. Ia menceritakan keluhannya, tentang rekan kerjanya yang termasuk kategori si "penjilat". Dan ironisnya, ternyata atasannya sendiri memang menyukai bila bawahannya dapat "menjilat"nya setiap saat.

Kembali lagi pada konteks mengenai Kiss Ass tadi. Yang akan saya bahas adalah soal "jilat - dan senang dijilat" dalam urusan pekerjaan. Baik itu dalam bisnis ataupun hanya dalam soalan kantoran biasa. Sepertinya permasalahan jilat dan menjilat atau senang dijilat itu tadi telah membudaya di beberapa perusahaan ataupun kultur bangsa ini (sepanjang pengamatan saya lho). Kalau masih nempel diingatan Andapun, dulu pernah ada istilah ABS alias Asal Bapak Senang, yang digunakan sebagai ledekan terhadap orang-orang pemerintahan yang sering menjilat dan senang dijilat tadi. Apakah istilah tersebut masih dipakai sampai saat ini? Saya pribadi kurang begitu tahu. Namun, yang jelas, kesenangan menjilat dan dijilat tetap eksis sampai sekarang. Lalu, mengapa sih kok orang senang sekali menjilat dan dijilat?

Sebenarnya, menjilat atau kiss ass itu dilakukan karena orang yang melakukannya ingin cepat mendekati sang atasan, tentunya dengan segala tujuannya tersendiri. Baik yang sudah berani terang-terangan ataupun yang hanya sekedar diam-diam saja, berlagak polos agar tidak tercium oleh rekan ataupun pihak-pihak yang lainnya. Dan, atasan yang senang dijilat, justru menggambarkan sosok yang tidak berwibawa dan termasuk orang yang tidak memiliki hati yang tulus. Yang dapat melihat secara obyektif kemampuan dan prestasi setiap bawahannya. Ada juga atasan yang gila hormat, sehingga sangat senang dan bangga bila ia “dijilati” oleh orang-orang yang berada disekitarnya.

Menurut Anda?

Padahal, sangat luar biasa, bila tanpa melakukan aksi menjilat tadi, Anda dapat melakukan setiap pekerjaan apapun itu secara baik dan penuh tanggung jawab. Toh, bila Anda berhasil menunjukkan siapa diri Anda dengan memberikan kualitas yang prima disetiap hal yang Anda kerjakan, akan lebih membanggakan baik secara mental ataupun spirit yang ada di dalam diri Anda.

Bukan begitu?

Menurut saya, tidak semua orang mau berkeringat berlebihan (istilah saya), bila bisa mendapatkan promosi ataupun proyek bergengsi dari atasan hanya dengan menjilat atasan Anda. Dan, lihat saja, rekan lain yang telah mati-matian berusaha keras tanpa menjilat, tetap akan berada dibelakang. Usia muda, sudah bisa menjadi bos besar. Atau baru memasuki awal 30 tahunan, sudah bisa punya segalanya, baik itu gaji besar, rumah mewah dan masih banyak lagi. Inilah, beberapa hal yang meracuni setiap pikiran individu hingga sampai menghalalkan segala cara untuk mencapainya.

Memang sih, tidak salah memiliki motivasi dan ambisi besar untuk mencapai kesemua mimpi-mimpi indah tersebut. Tetapi, alangkah lebih baik, bila kesemuanya dicapai dengan kerja keras walaupun bermadikan keringat dan air mata.

Dan, bila tersedia jalan yang positif, mengapa masih banyaakk sekali orang yang tidak mau. Budaya instant. Itulah yang menurut saya, menjadi landasan utama orang untuk melakukan aksi menjilat-dijilat.

Kembali ke penggalan kalimat Jennie diatas tadi, semangat luar biasa terpancar dari kata-kata ….let the world know know about what I’m capable of doing. Be Brave menghadapi dunia secara jantan dengan berperisai semangat luar biasa dan keinginan untuk terus belajar dan maju. Sebab, hanya orang-orang yang sudah enggan atau malas untuk belajar saja, yang sering menghalalkan segala cara termasuk kiss ass tadi.

Tunjukkan diri Anda bukan dari penampilan luar Anda, ataupun betapa cantik dan menawannya Anda. Bahkan bukan dengan manisnya madu yang keluar dari mulut Anda. Tunjukkanlah diri Anda melalui hal-hal yang mampu Anda kerjakan dan menghasilkan hal-hal positif luar biasa baik bagi diri Anda sendiri ataupun bagi orang-orang disekitar Anda. Termasuk untuk pekerjaan Anda dikantor.

Karena kesuksesan yang telah dicapai, bila tanpa pengorbanan adalah kebahagiaan semu belaka [am].

So, mari bersama kick ass and show the world with any amazing capabilities that we can doing.

[am]

Read More......

Quality of Life


Tanggung jawab...ya, setiap orang tanpa terkecuali sudah diberikan dari sananya sebuah tanggung jawab. Baik itu tanggung jawab yg bernilai besar ataupun tanggung jawab yg paling simpel yakni pada dirinya sendiri. Namun, tanpa disadari ataupun sangat disadari, masih banyak orang yang menganggap/merasakan sebuah tanggung jawab itu adalah suatu beban dalam kehidupannya. Yang, mau tidak mau harus dipanggulnya. Oleh karenanya, mungkin banyak orang juga yang ingin sekali melepaskan 'beban'-nya tersebut.

Padahal, tanggung jawab, pada hakikinya bukanlah suatu beban. Setiap hal pasti punya 2 sisi.

Jadi janganlah hanya membaca dari satu sisi saja, tetapi, lihatlah juga sisi satunya. Hidup adalah yin dan yang. Sehingga, bila kita mau melihat dari sudut pandang satunya, tanggung jawab justru sebuah 'kepercayaan' yang sifatnya erat dengan anugerah. Yang Kuasa telah memberikan 'kepercayaan'-NYA kepada kita, berarti kita dianggap telah sangat 'capable' atau mampu untuk menjalaninya.

Bagi orang-orang yang tidak menyadari bahwa tanggung jawab adalah suatu anugerah 'kepercayaan' akan selalu merasa terbebani dalam setiap hal yang menuntut tanggung jawab. Dan, hal tersebut termasuk dalam soalan-soalan kecil dalam hidup juga. Contoh yang paling simpel, dalam pekerjaan di kantor sehari-hari, tidak semua orang memiliki keberanian untuk mempertanggungjawabkan apa yg telah diperbuat. Misalnya, keputusan yg teryata dirasakan kurang begitu tepat bagi perusahaan atau dirasakan tidak pas bagi departemen lain. Nah, orang yang tersangkut tanggung jawab tersebut, justru menyalahkan pihak-pihak lainnya lagi guna menutupi kesalahan ataupun kekurangannya sendiri. Bukankah seharusnya, ia dengan segala keberanian mengakui kekurangan/kesalahan prediksi yang telah ia lakukan sambil memberikan solusi terbaru menanganinya. Bukannya malah bersembunyi dengan menuding pihak lain.

Sebagai contoh lainnya lagi saya ingin mengambil kisah yg sering terjadi dalam kehidupan siapa saja. Misalnya antara orang tua dan anak. Orang tua selayaknya orang tua dari anak-anak mereka seringkali merasa diri mereka 'yang paling' benar, paling tahu, paling tidak salah, paling...paling dan paling... Sedangkan si anak menurut orang tua, dianggap masih ingusan, selalu salah bila tidak sejalan dengan orang tua, salah jalan bila tidak mendengarkan orang tua, pemberontak bila berani menyatakan tindakannya benar. Lalu, apa hubungannya dengan tanggung jawab yg saya jabarkan diatas tadi?

Orang tua memiliki tanggung jawab luar biasa besar, sebab telah mendapatkan 'kepercayaan' untuk menjalaninya. Dan, orang tua juga manusia (mengutip sebuah lagu), yang bisa saja khilaf, hilang kendali, juga melakukan kesalahan kesalahan pada anak-anak mereka. Nah, yang menjadi pemikiran adalah kenapa orang tua (khususnya di negara asia) tidak pernah mau mengakui kesalahan kepada anaknya dan meminta maaf. Karena tanggung jawab setelah melakukan kesalahan, adalah dengan mengakuinya, meminta maaf dan menyesalinya.

Contoh diatas berlaku juga untuk para atasan & karyawannya ditempat kerja. Kenapa? Sebab atasan tidak selalu benar. Bos juga manusia kan?! Namun, yah, namanya jg atasan, tidak mau dong merasa salah. Malu aahhh...masa ketahuan salahnya sih di depan anak buah :) Inilah yang sering menyebabkan hubungan pekerjaan yang menyangkut tanggung jawab secara penuh menjadi tidak berjalan dengan baik. bawahan merasa kok sepertinya atasannya tidak menghargainya, dan kenapa bawahan selalu salah sedangkan atasannya tidak pernah mau mengakui kesalahannya secara 'gentle'.

Jadi, kesimpulan uraian-uraian tulisan saya diatas adalah, marilah sebagai manusia, kita menyadari, menerima dan menjalankan segala bentuk tanggung jawab yg telah 'dipercayakan' kepada kita. Jangan hanya menyadari lalu merasa terbebani. Jangan hanya menyadari saja, lalu lari darinya. Ataupun jangan hanya menjalaninya setengah saja, dan setengahnya lagi ditinggalkan/pura-pura lupa.

Segala sesuatu harus dilakukan secara penuh. 100% tidak lebih dan tidak kurang. Semuanya harus pas. Dan, tidak mungkin semua orang telah melakukannya, dan memang tidak mudah melakukannya secara penuh. Namun, sebagai manusia, kalau kita menyerah namanya menyerah pada diri sendiri. Belajar dan belajar untuk mencapai 100% tadi. Mari bersama mulai belajar mengenai tanggung jawab secara penuh dan menjalaninya untuk mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik.

Bagaimana dengan Anda?

[am]

Read More......